Penduduk asli di wilayah
Labuhanbatu Utara merupakan suku Batak Nadolok yang menempati daerah sepanjang
Sungai Kualuh namun tidak sampai ke muaranya di pantai Kualuh. Masyarakat Batak
Nadolok merupakan keturunan Batak Toba yang bermigrasi di sepanjang aliran
sungai Kualuh untuk mencari lahan pertanian baru akibat semakin sempitnya lahan
di sekitar Danau Toba.
A. Kehidupan
Suku Batak Nadolok
Kemasyhuran Sungai Kualuh, adalah salah satu bukti
peninggalan berbagai sejarah panjang kehidupan rakyat dimasa lalu, sebab dahulu
sungai merupakan pusat budaya kehidupan manusia untuk bertahan hidup,
sejalan dengan sungai sebagai jalan tol bebas hambatannya manusia
kala itu. Sungai Kualuh mengalir dari Parsoburan di Tapanuli Utara sampai ke
Kualuh Leidong.
Diperkirakan Sungai Kualuh ini dahulu kala, menjadi salah satu jalur lalu
lintas migrasi rakyat Batak dari Parsoburan, Porsea, Balige, Tapanuli Utara,
umumnya ke kawasan pantai timur. Disamping itu, melalui darat migrasi terjadi melalui
Tangga Damuli, mengarah ke kawasan Kecamatan Aek Natas dan Na IX-X. Maka sampai
sekarang banyak masyarakat yang ada di Labura dari etnis Batak Toba.
Masyarakat Batak Nadolok yang hidup di daerah aliran sungai Kualuh bertetanga
dengan masyarakat Batak Pardembanan yang hidup di sebelah utara di aliran
sungai Asahan. Suku Batak Nadolok ini menurunkan marga Nadolok yang sampai saat
ini masih dipakai sebahagian penduduk Batak Nadolok yang wilayah aslinya
meliputi kecamatan NA IX-X, Aek Natas, Aek Kuo, dan Marbau di Kabupaten Labuhanbatu Utara sekarang.
B. Penaklukan
Sultan Asahan atas wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok
Pada tahun 1539 Sultan Aceh Sultan Mahkota Alam Alauddinriayatsyah (Syah Johan)
ingin meminang Puteri Hijau di tanah Deli-Tua. Meskipun usahanya itu tidak
berhasil karena Puteri Hijau lolos ke laut, maka bala tentera Aceh itu harus
menyusuri pantai arah ke Selatan. Sesampainya di sebuah muara sungai besar,
sungai Asahan, maka dimasukilah sungai itu mudik dan ternyata tidak ada ditemui
penduduk. Sesampainya di kampung Tulawan, baru ditemui penduduk Batak yang
tidak tahu bahasa Melayu. Untunglah disitu ada seorang hulubalang bernama Bayak
Lengga Haro-haro yang tahu berbahasa Melayu, yang mengatakan bahwa Raja disitu
adalah Kerajaan Simargolang Suku Batak Pardembanan. Sultan Aceh lalu menyuruh
agar penduduk pindah ke pertemuan sungai Silau dengan sungai Asahan, dan
kemudian lahirlah nama Tanjung Balai.
Singkat cerita, akhirnya Sultan Aceh Syah Johan ini menikah dengan putri raja Batak
Kotapinang Batara Sinomba bernama Siti Onggu. Anak mereka bernama Sultan Abdul
Jalil menjadi Sultan Asahan pertama yang tunduk di bawah kekuasaan Aceh yaitu
ayahnya sendiri. Sebagai Sultan yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, dia
berhasil menundukkan tiga Kerajaan Batak Pardembanan di wilayah hulu sungai
Asahan termasuk menguasai wilayah sekitar hulu sungai Kualuh dan Leidong tempat
bermukimnya suku Batak Nadolok.
Selama beberapa generasi Kesultanan Asahan menguasai wilayah Batak Pardembanan
dan Batak Nadolok. Hingga pada saat Sultan Musa Shah
meninggal pada 1808, meninggalkan seorang putra anumerta. Namun, aturan suksesi
tidak memungkinkan satu hari untuk berlalu antara pemakaman mantan penguasa dan
proklamasi penggantinya. Akibatnya, adiknya berhasil sebagai Syah Ali Raja
'. Beberapa bangsawan, terutama mereka yang termasuk masyarakat Batak,
tidak menerima penguasa baru. Raja Musa Shah bayi pangeran dibawa ke Kualuh dan
memproklamirkan sebagai penguasa, akhirnya diterima sebagai penguasa atau Wakil
Yang Dipertuan Muda di wilayah Kualuh. Itulah awal mula berdirinya Kesultanan
Kualuh Leidong yang terpisah dari Asahan.
Sementara itu, putra Raja Ali Shah didirikan kebebasannya dari Aceh dan
diberikan gelar Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah. Pemerintahan panjang empat
puluh enam tahun menyaksikan meningkatkan kontak komersial Eropa, dan
kesimpulan dari kontrak dengan pemerintah Hindia. Kematiannya pada 1859,
diendapkan sengketa suksesi antara keturunan Raja Shah Musa dan orang-orang
Shah Ali Raja '.
Hubungan yang buruk dengan Belanda tidak membantu Sultan Ahmad Shah. Mereka
mengusirnya pada tahun 1865 dan memproklamirkan cucu Raja Musa Shah sebagai
Shah Ni'matu'llah Sultan. Namun, langkah ini tidak menyelesaikan apa-apa,
Sultan Ahmad Shah pindah pedalaman dan mempertahankan kekuasaannya, keluar dari
jangkauan kapal perang Belanda. Sultan Ni'matu'llah tidak mampu membangun
kekuasaannya, sehingga Belanda dihapus dia sebagai Sultan Asahan pada tahun
1868. Wilayah tanah lungguh yang setia Ni'matu'llah menjadi negara baru Kualuh.
Setelah dua puluh tiga tahun bertempur intermiten dan diikuti oleh periode
gencatan senjata dan jalan buntu, penyelesaian yang disepakati antara semua
tiga partai pada tahun 1886. Gubernur-Jenderal Hindia diakui secara resmi sebagai
Sultan Ahmad Shah Asahan sekali lagi.
Sultan Muhammad Shah II Husain Rahmad menggantikan ayahnya dua tahun kemudian
dan memimpin periode kemakmuran ekonomi yang luas. Mati pada tahun 1915,
putranya, Sultan Sha'ibun 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah, berhasil di puncak boom
karet Perang Besar. Ini janji awal dari sebuah pemerintahan menguntungkan jatuh
pendek dalam tiga puluh tahun. Perang Dunia Kedua terbukti menjadi suatu DAS.
Kekejaman Jepang dan penindasan kolonialisme Belanda diganti, hanya untuk
digantikan oleh pertumpahan darah mengerikan yang lewat untuk "revolusi
sosial". Kejahatan dari mereka kali tidak berakhir secepat Belanda
berusaha untuk mendapatkan kembali kontrol sedangkan kaum republiken Jawa dan
Aceh berusaha untuk mengusir Belanda. Sejumlah besar aristokrasi tewas dalam
konflik, kekacauan memerintah tertinggi dan negara-negara semua tapi tidak
berfungsi. Pada akhir permusuhan, kesultanan tidak dikembalikan tetapi diserap
ke dalam Republik. Sultan tua tinggal di selama tiga puluh empat tahun, pemerintahan
terpanjang dalam sejarah rumahnya.
Berbeda dengan penguasa tradisional di bagian lain di Indonesia, tidak ada
kesultanan Sumatera telah dipulihkan atau kepala mereka diakui dalam. Namun
demikian, kampanye yang kuat untuk pemulihan mereka terus di antara masyarakat
Melayu, digagalkan oleh rasa takut pemisahan dan kemungkinan hilangnya
pendapatan minyak yang berharga oleh pemerintah di Jakarta.
C. Masyarakat Asli Labuhanbatu Utara adalah Suku Batak Nadolok, Bukan Melayu Kualuh
Dari keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penduduk asli Labuhanbatu Utara adalah Suku Batak Nadolok yang hidup di hulu Sungai Kualuh sebagai petani. Kedatangan Sultan Syah Johan dari Aceh, pada akhirnya meciptakan berdirinya Kesultanan Asahan melalui anaknya Sultan Abdul Jalil yang berhasil menginvasi wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok Sebagai bagian dari Kesultananan Asahan.
C. Masyarakat Asli Labuhanbatu Utara adalah Suku Batak Nadolok, Bukan Melayu Kualuh
Dari keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penduduk asli Labuhanbatu Utara adalah Suku Batak Nadolok yang hidup di hulu Sungai Kualuh sebagai petani. Kedatangan Sultan Syah Johan dari Aceh, pada akhirnya meciptakan berdirinya Kesultanan Asahan melalui anaknya Sultan Abdul Jalil yang berhasil menginvasi wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok Sebagai bagian dari Kesultananan Asahan.
Gejolak kemudian muncul ketika Sultan Musa Syah meninggal dan tahta direbut
paksa oleh Sultan Ali Syah. Masyarakat Kualuh termasuk Suku Batak Nadolok yang
sudah menjadi Islam dan tunduk kepada kesultanan merasa tidak terima karena
seharusnya anak kandung Sultan Musa Syah lah yang berhak menggantikan ayahnya
sebagai sultan. Maka mereka membawa anaknya Sultan Musa Syah yang masih bayi
dan menjadikannya Sultan Kualuh Lediong. Itulah tonggak berdirinya Kesultanan
Kualuh Leidong.
Hanya keturunan asli Sultan Asahan yang menjadi Sultan
Kualuh Leidong yang dapat dikategorikan sebagai Suku Aceh ataupun Melayu Kualuh
dari sisi keturunan, itupun merupakan pendatang. Sementara itu Suku Batak
Nadolok telah menetap jauh lebih dahulu dari kedatangan Sultan Aceh, apalagi
Sultan pertama Kualuh Leidong.
Sungai Kualuh ini berdasarkan letak geografisnya, dari
sebelah hulu di Tapanuli Utara, namanya adalah Aek Kualuh.
Sementara mulai dari kampung Aek Baringin sampai ke hilir di muara selat malaka
dinamai Sungai (Sunge) Kualuh, ada perobahan penamaan,
mungkin penyesuaian karena dihilir penduduknya orang melayu. Namun tetap
berlandaskan nama Kualuh, hanya ada perubahan antara kata Aek di hulu, dan kata
Sungai (Sunge) di hilir.
Asal-muasal nama Sungai Kualuh itu berdasarkan ada tujuh sungai mengalir yang bermuara ke Sungai Kualuh. Tujuh sungai itu berada di wilayah Labura. Adapun ketujuh sungai tersebut yang bermuara ke Sungai Kualuh adalah:
1.Sungai Air Hitam, (Sunge Ledong),
2. Sungai Aek Kuo,
3. Sungai Aek Kanopan,
4. Sungai Aek Natas,
5. Sungai Simangalam.
6. Sungai Aek Rimo, dan
7. Sungai Aek Tombus.
Untuk Aek Rimo dan Aek Tombus menyatu di Kuala Beringin, kemudian bermuara ke Sungai Kualuh. Gabungan tujuh sungai yang bermuara ke induknya, yaitu Sungai Kualuh, maka ada delapan sungai yang terdapat di Kesultanan Kualuh. Terkait dengan bahasa Batak Nadolok yang berada di hulu Sungai Kualuh, untuk angka delapan dilafazkan sebagai walu, karena adanya pengaruh budaya dan bahasa melayu yang kuat di hilir, maka sungai itu dinamai menjadi Sungai (Sunge) Kualuh. (MR)
Asal-muasal nama Sungai Kualuh itu berdasarkan ada tujuh sungai mengalir yang bermuara ke Sungai Kualuh. Tujuh sungai itu berada di wilayah Labura. Adapun ketujuh sungai tersebut yang bermuara ke Sungai Kualuh adalah:
1.Sungai Air Hitam, (Sunge Ledong),
2. Sungai Aek Kuo,
3. Sungai Aek Kanopan,
4. Sungai Aek Natas,
5. Sungai Simangalam.
6. Sungai Aek Rimo, dan
7. Sungai Aek Tombus.
Untuk Aek Rimo dan Aek Tombus menyatu di Kuala Beringin, kemudian bermuara ke Sungai Kualuh. Gabungan tujuh sungai yang bermuara ke induknya, yaitu Sungai Kualuh, maka ada delapan sungai yang terdapat di Kesultanan Kualuh. Terkait dengan bahasa Batak Nadolok yang berada di hulu Sungai Kualuh, untuk angka delapan dilafazkan sebagai walu, karena adanya pengaruh budaya dan bahasa melayu yang kuat di hilir, maka sungai itu dinamai menjadi Sungai (Sunge) Kualuh. (MR)