Rabu, 11 Februari 2015

ASAL USUL MARGA RITONGA


Banyaknya orang yang bertanya asal usul yang menyebabkan “Ritonga” menjadi sebutan dan panggilan terhadap “seseorang” yang kemudian menjadi abadi yang sekarang dikenal sebagai Marga Ritonga.
Mari sejenak kita telusuri terlebih dahulu asal-usulnya. Paisang Isang Harbangan, orang yang pertama kali mendapat panggilan “Ritonga”, adalah anak Silali Dolok. Silali adalah anak Siregar. Siregar memiliki empat orang anak. Anak pertama yang bernama Silo, anak kedua bernama Dongoran, anak ketiga bernama Silali dan anak keempat bernama Siagian. Silali mempunyai dua anak Silali Dolok (Manahan) sebagai anak pertama dan Silali Toruan (Pamoto) sebagai anak kedua. Paisang Isang Harbangan ini adalah satu satunya anak dari Silali Dolok.
Disini, hanya dibahas sejarah Paisang Isang Harbangan, sebab beliau adalah kakek kita.
Awalnya, Paisang Isang Harbangan bertempat tinggal di Muara Lobu Siregar bersama orang tuanya (Silali Dolok) dan pamannya Silali Toruan. Ketika sudah dewasa, saat musim paceklik tiba dan hasil pertanian tidak memadai lagi untuk kehidupan, Paisang Isang Harbangan pun berpikir dan terus berpikir mencari jalan keluar untuk memenuhi kehidupan juga. Akhirnya, Paisang Isang Harbangan pun bertekad dalam hatinya. “ Saya harus keluar dari kemelut ini, dari Muara Lobu Siregar untuk mencari kehidupan yang lebih baik lagi di tempat lain”.
Kemudian Paisang Isang Harbangan pun menemui kawan-kawannya yang sehaluan dan setujuan. Kawan-kawannya pun sangat setuju dan mendukungnya. Apalagi mereka mengetahui bahwa Paisang Isang Harbangan mempunyai kelebihan-kelebihan. Jujur, berani dan lagi punya ilmu yang tinggi. Siapa yang tidak mau berkawan dengan orang yang cukup punya kemampuan dari berbagai segi. Dan mereka pun sepakat untuk mengembara/merantau. Mereka pun menyiapkan perbekalan seperlunya saja. Pada waktu dan tanggal yang telah disepakati, mereka pun berangkat ke Dolok Tor Sihabu-habu.
Sesampainya disana, mereka pun istirahat sejenak dan memakan bekal yang seadanya dari kampung saat tengah hari. Setelah selesai makan, mereka pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Namun ketika mereka berdiri dan menatap-natap disekelilingnya mereka melihat dikejauhan ada tanda-tanda asap mengepul. Dan mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Dengan tidak disangsikan lagi kebenarannya, Paisang Isang Harbangan pun mengajak semua rombongan untuk berangkat. “Mari kita lanjutkan perjalanan ini! Mudah-mudahan kita menemukan kampung sebelum malam hari. Mari sama-sama kita memperhatikan arah timbulnya asap yang kita lihat tadi di Dolok Tor Sihabu-habu. Mungkin saja nanti kita akan menemukan kampung yang cocok untuk pertanian dan tempat kita. Mari kita lanjutkan perjalanan. Mungkin masih jauh. Apalagi perjalanan ini mendaki dan menurun”. Seru Paisang Isang Harbangan.
Menjelang sore hari, rombongn mendengar ayam berkokok dari kejauhan sebagai pertanda adanya sebuah kampung. “ Mari kawan-kawan kita lanjutkan perjalanan ini. Mudah-mudahan saja kita menemukan kampung yang kita harapkan”. Akhirnya perjalanan itu benar-benar menemukan sebuah kampung. Dan rombongan pun tiba di depan kampung. Mereka lalu berhenti sejenak untuk mufakat. Mufakat menghasilkan keputusan untuk menemui Raja Kampung. Kemudian, mereka membuat kesepakatan agar tidak membuat tingkah laku yang mencurigakan orang-orang dikampung ini. Rombongan pun bergerak perlahan-lahan. Dan orang-orang kampung itupun mendatangi Paisang Isang Harbangan dan rombongannya. Kemudian mereka bersalam-salaman dengan penduduk kampung itu dengan rombongan.
Rombongan pun menjawab dengan basa-basi seperlunya. Lalu rombongan menanyakan perihal Raja Kampung kepada penduduk tersebut. Penduduk kampong pun memberitahukan bahwa Raja Kampung ada dirumahnya. Kemudian rombongan mengajak penduduk kampung untuk membawa mereka kerumah raja Kampung.
Penduduk kampong pun akhirnya membawa mereka kerumah Raja. Benar saja, Raja memang berada dirumahnya. Raja pun menyambut dan mempersilakan rombongan dan penduduk masuk kerumahnya.
Dirumah Raja, rombongan pun sama-sama duduk diatas tikar yang terbentang. Lalu Raja kampung pun bertanya kepada rombongan perihal maksud dan tujuannya dating kekampung tersebut. (Sementara waktu sudah menjelang malam). Rombongan pun menjawab dengan rendah hati dan basa-basi kesana kemari. Mereka kemudian disuguhkan makanan ala kadarnya. Namun, tidak ada satupun yang mencicipinya karena mungkin saja ada hal-hal yang kurang baik untuk kesehatan mereka.
Mengingat hari sudah jauh malam, maka Paisang Isang Harbangan sebagai kepala rombongan memohon untuk undur diri dari ruangan. Sebelum undur diri, Paisang Isang Harbangan pun berkata, “ Kalau bisa, kami mengharapkan pertolongan dari Raja untuk membekali kami sirih untuk kami makan diperjalanan”. Raja lalu dengan senang hati memberikan sirih selengkapnya kepada mereka.
Mereka pun permisi untuk berangkat meneruskan perjalanan di tengah malam buta yang sangat susah ditempuh karena mereka tidak mengetahui keadaan kampung tersebut. Mereka terus mengikuti jalan, hanya cahaya bintang yang gemerlap dari langit yang menerangi jalan. Rupanya, Jalan yang ditempuh adalah jalan kepancuran. Lalu mereka pun mendaki keatas pancuran. Disana mereka berhenti (Istirahat). Di tepi pancuran, Mereka berbisik-bisik dari seorang keseorang hingga membuahkan hasil kesepakatan bersama. Mereka lalu sungguh-sungguh menyiapkan segala sesuatunya dengan maksud sebelum pagi hari tugas semuanya sudah selesai. Yaitu rencana untuk mengelabui penduduk kampung tersebut.
Sebelum penduduk datang, mereka pun segera menjauh dari tepi pancuran untuk mengamati reaksi penduduk kampung yang bernama Parsosoran. Seperti biasanya, tidak ada penduduk kampung yang curiga. Hingga akhirnya penduduk terkejut. Bahkan sangat terkejut sampai-sampai mereka tidak jadi ambil air. Penduduk melihat makanan yang berserakan, sirih-sirih yang bersimbahan. Demikian pula kayu yang dipacakan sebagai pertahanan. Ibu-ibu pun segera pulang untuk memberitahukan kepada keluarga masing-masing. Ada pula yang melaporkannya kepada Raja Kampung, bahwa bagaimanapun, mereka bertujuan jahat, mereka bertujuan menyerang kampung karena mereka telah membuat pertahanan dan penduduk kampung tidak akan mampu membendung dan melawan mereka. Penduduk pun mengusulkan kepada Raja Kampung untuk meninggalkan kampung bersama-sama daripada banyak jatuh korban. Raja pun akhirnya setuju atas keinginan penduduk kampung ini.
Masing-masing penduduk menyiapkan barang-barang yang bisa dibawa. Masing-masing sedang sibuk mengurus barang-barangnya. Dihalaman rumah Raja, anak-anak dan ibu-ibu sudah berkumpul untuk berangkat. Sementara laki-laki turun naik kerumahnya untuk melihat apakah ada yang bisa dibawa. Raja lalu memerintahkan untuk berangkat. Anak-anak dan ibu-ibu ditempatkan ditengah-tengah rombongan, sementara laki-laki di depan dan di belakang rombongan.
Paisang Isang Harbangan dan teman-temannya sejak pagi hingga sore memantau dan mengintip kepergian penduduk kampung. Satu jam kemudian kampung itu kosong sekosong-kosongnya. Paisang Isang Harbangan pun beserta rombongan turun kesegala sudut kampung sambil mengintip kecelah-celah rumah jika saja ada hal-hal yang mencurigakan. Ternyata benar-benar kosong, tidak ada yang mencurigakan, aman seaman-amannya. Kejadian ini bagaikan mimpi disiang bolong. Siasat Paisang Isang Harbangan dan rombongan untuk mengelabui penduduk kampung benar-benar membawa hasil. Dan kampung Parsosoran telah jatuh ketangan rombongan Paisang Isang Harbangan tanpa ada kesulitan dan pengerahan tenaga. Penduduk kampung kalah sebelum berperang. Tak ada setetes keringat ataupun darah yang mengalir.
Melihat disana sini masih ada api, diatas tungku masih tertenggek periuk nasi, rombongan Paisang Isang Harbangan yang benar-benar laparpun makan seadanya untuk mengganjal perut yang kosong. Rombongan kemudian bersiap-siap dan berjaga-jaga bila kemudian ada yang mencurigakan. Ternyata mereka aman aman saja serta tidak ada gangguan dari manapun.
Paisang Isang Harbangan dan teman-temannya berikrar bersama-sama seiya sekata untuk mempertahankan kampung yang telah jatuh ketangan mereka. Janji mereka ini adalah janji abadi. Langkah selanjutnya adalah meningkatkan pertanian dan kehidupan, menjaga keamanan.
Tahun berganti tahun. Paisang Isang Harbangan pun selalu dijemput dan diminta untuk mengobati penderita yang sakit. Pada umumnya, penangannya cukup berhasil.
Mengingat usianya sudah bertambah tua, Paisang Isang Harbangan pun menetap saja dirumahnya. Namun, karena kesohorannya, orang-orang selalu berdatangan untuk berobat. Dan orang-orang yang datang selalu bertanya. “Yang manakah rumah Datu Na Bolon itu?”. Penduduk kampung menjawab, “ Itulah dia rumahnya yang di TONGA dan atap rumahnya terbuat dari RI atau lalang/padang”. Demikianlah seterusnya pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang datang. Dan Demikian pula sebaliknya jawaban penduduk kampung Parsosoran dengan RITONGA saja.
Akhirnya Paisang Isang Harbangan pun dinamai Paisang Isang Harbangan Ritonga (atap rumahnya terbuat dari ri = ilalang).
Demikianlah nama kakek Marga Ritonga, yang akhirnya terus berkembang keturunan-keturunannya kepelosok tanah air Indonesia. Kampung Parsosoran adalah kampung kakek Marga Ritonga, Parsosoran saat ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara, Paisang Isang Harbangan adalah pembawa Marga Ritonga. Di Parsosoran telah didirikan tugu atau monument sejarah Ritonga pada tanggal 9 Oktober 1993.


Sumber : http://silsilahmargaritonga.com/sejarah-ritonga.html