Sabtu, 17 September 2016

Benarkah Si Raja Batak Nenek-Moyang Bangso Batak dan Toba Induk Bangso Batak?



Di dalam buku W.M. Hutagalung berjudul: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” dan banyak buku Sejarah Batak lainnya disebutkan bahwa Si Raja Batak adalah nenek-moyang Suku Batak atau Bangso Batak. Suku Batak yang dimaksud adalah Suku non-Melayu yang berada di daratan Sumatera Utara bahkan kemudian ada juga buku yang memasukkan Nias sebagai keturunan Si Raja Batak. 
Para leluhur dari etnis-etnis tersebut akan diperlihatkan pada tulisan berikut ini. Raja-Raja Toba Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong, yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. 
Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. 
Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba dan Bernard K. Maloney sendiri sudah menulis beberapa buku tentang hal ini. Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. 
Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa.hawaii.edu; www.lib.washington.edu). Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama Raja-Raja Toba, karena hanya menurunkan Orang Toba. Jadi, Raja-Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang Toba terbukti dari DNA-nya (2015:31-35). 
Selama ini Si Raja Batak disebut-sebut sebagai nenek-moyang Bangso Batak atau Suku Batak. Si Raja Batak disebutkan nama kampungnya di Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, yang sekarang berada di daerah Kabupaten Samosir. Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. 
Berbagai tulisan maupun buku-buku sejarah “Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut merupakan kampung awal Bangso Batak atau Suku Batak (2015:1-11). Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan bahwa keturunan Si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. 
Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing merupakan keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba. Dengan demikian, selain keturunan Si Raja Batak, maka seluruh marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak Toba juga yang kesemuanya disebut Bangso Batak/Suku Batak, sehingga Batak Toba merupakan induk dari marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing. 
Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak yang merupakan keturunan Raja Asi-asi. Kemudian Raja Aceh yang pergi ke Gayo dan Raja Jau ke tanah Jawa berasal dari Sianjur Mulamula. Akan tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah dapat diperkirakan pengaruhnya demikian luas. Setelah Bibel, Buku Ende, dan Almanak Gereja, sepertinya buku inilah yang paling banyak dibeli masyarakat terutama masyarakat Toba. Pada tebing bukit di Sianjur Mulamula, Samosir ada dibuat tulisan: “PUSUK BUHIT – SIANJUR MULAMULA – MULA NI HALAK BATAK – 5 SUKU: BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAPPAK, BATAK SIMALUNGUN”. Selanjutnya, Monumen Pintu Gerbang Tomok memuat tulisan: BATAK TOBA, BATAK SIMALUNGUN, BATAK MANDAILING, BATAK ANGKOLA, BATAK PAKPAK, BATAK KARO. 
Sementara dalam website Pemkab Samosir, tentang Si Raja Batak ini ditulis sebagai berikut: “Si Raja Batak, yang tinggal di Kaki Gunung Pusuk Buhit mempunyai dua putra, yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kelompok besar marga Bangso Batak/Suku Batak, yaitu Lontung dan Sumba. Dari kedua kelompok marga ini lahirlah marga-marga orang Batak, yang saat ini sudah hampir 500 marga. Sampai saat ini orang Batak mempercayai bahwa asal mula Bangso Batak/Suku Batak ada di Pusuk Buhit Sianjur Mulamula.” (www.samosirkab.go.id). 
Kemudian mengenai masa hidup Si Raja Batak ini, maka dikemukakan beberapa pihak sebagai berikut: Richard Sinaga, dalam bukunya "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" (1997) mengemukakan bahwa masa hidup Si Raja Batak kira-kira pada tahun 1200 Masehi atau awal abad ke-13 Masehi. Batara Sangti Simanjuntak, dalam bukunya berjudul “Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi. Kondar Situmorang, dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26 September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987, dengan judul “Menapak Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada pada tahun 1475 Masehi. Sarman P. Sagala, dalam website Pemkab Samosir mengatakan, bahwa Si Raja Batak hidup pada tahun 1200 atau awal abad ke-13 (http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/). 
Ketut Wiradnyana, arkeolog Balai Arkeologi Medan yang telah melakukan penelitian arkeologi di Samosir, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengatakan bahwa orang Batak pertama di Sianjurmulamula dan mereka telah bermukim di sana sejak 600-1000 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id). Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id). 
Demikianlah telah diuraikan di atas tentang masa hidup Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan tadi keseluruhannya berkisar antara 500-1000 tahun lalu atau tidak lebih dari 1000 tahun. Sejarah Harus Ditulis Ulang Di atas telah dipaparkan bahwa ternyata sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula, Tanah Toba pada millenium kedua Masehi pada sekitar 500 – 1.000 tahun lalu, maka telah ada banyak manusia di Humbang pada sekitar 6.500 tahun lalu. Mereka ini penulis sebut Raja-Raja Toba, karena mereka pun juga menurunkan Orang Toba dan hanya menurunkan Orang Toba. Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan penelitian arkeologi di sepanjang dekat Medan hingga Lhok Seumawe dan diperkirakan kedatangan mereka di sana pada masa Mesolitik, sekitar 6.000 – 10.000 tahun lalu. Mereka adalah ras Australomelanesoid atau disebut juga Orang Negrito. 
Kemudian sesuai dengan analisa DNA Orang Toba yang dilakukan oleh Mark Lipson (2014:87) bahwa ditemukan adanya unsur Negrito. Jadi, Orang Toba adalah keturunan Orang Negrito, yang telah banyak populasinya di Humbang sejak sekitar 6.500 tahun lalu. Raja-Raja Toba jauh lebih dulu datang daripada Si Raja Batak di Tanah Toba (Negeri Toba). Akibatnya, sejarah harus ditulis ulang. ***

Oleh: Edward Simanungkalit *

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/edwardsimanungkalit/benarkah-si-raja-batak-nenek-moyang-bangso-batak-dan-toba-induk-bangso-batak-1_568ebf6d51f9fdef078b4578

Jumat, 22 Mei 2015

BATAK NADOLOK DI KABUPATEN LABUHANBATU UTARA



Penduduk asli di wilayah Labuhanbatu Utara merupakan suku Batak Nadolok yang menempati daerah sepanjang Sungai Kualuh namun tidak sampai ke muaranya di pantai Kualuh. Masyarakat Batak Nadolok merupakan keturunan Batak Toba yang bermigrasi di sepanjang aliran sungai Kualuh untuk mencari lahan pertanian baru akibat semakin sempitnya lahan di sekitar Danau Toba.
A.   Kehidupan Suku Batak Nadolok
Kemasyhuran Sungai Kualuh, adalah salah satu bukti peninggalan berbagai sejarah panjang kehidupan rakyat dimasa lalu, sebab dahulu sungai merupakan pusat  budaya kehidupan manusia untuk bertahan hidup, sejalan dengan sungai sebagai jalan tol bebas hambatannya manusia kala itu. Sungai Kualuh mengalir dari Parsoburan di Tapanuli Utara sampai ke Kualuh Leidong.
Diperkirakan Sungai Kualuh ini dahulu kala, menjadi salah satu jalur lalu lintas migrasi rakyat Batak dari Parsoburan, Porsea, Balige, Tapanuli Utara, umumnya ke kawasan pantai timur. Disamping itu, melalui darat migrasi terjadi melalui Tangga Damuli, mengarah ke kawasan Kecamatan Aek Natas dan Na IX-X. Maka sampai sekarang banyak masyarakat yang ada di Labura dari etnis Batak Toba.
Masyarakat Batak Nadolok yang hidup di daerah aliran sungai Kualuh bertetanga dengan masyarakat Batak Pardembanan yang hidup di sebelah utara di aliran sungai Asahan. Suku Batak Nadolok ini menurunkan marga Nadolok yang sampai saat ini masih dipakai sebahagian penduduk Batak Nadolok yang wilayah aslinya meliputi kecamatan NA IX-X, Aek Natas, Aek Kuo, dan Marbau di Kabupaten Labuhanbatu Utara sekarang.
B.   Penaklukan Sultan Asahan atas wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok
Pada tahun 1539 Sultan Aceh Sultan Mahkota Alam Alauddinriayatsyah (Syah Johan) ingin meminang Puteri Hijau di tanah Deli-Tua. Meskipun usahanya itu tidak berhasil karena Puteri Hijau lolos ke laut, maka bala tentera Aceh itu harus menyusuri pantai arah ke Selatan. Sesampainya di sebuah muara sungai besar, sungai Asahan, maka dimasukilah sungai itu mudik dan ternyata tidak ada ditemui penduduk. Sesampainya di kampung Tulawan, baru ditemui penduduk Batak yang tidak tahu bahasa Melayu. Untunglah disitu ada seorang hulubalang bernama Bayak Lengga Haro-haro yang tahu berbahasa Melayu, yang mengatakan bahwa Raja disitu adalah Kerajaan Simargolang Suku Batak Pardembanan. Sultan Aceh lalu menyuruh agar penduduk pindah ke pertemuan sungai Silau dengan sungai Asahan, dan kemudian lahirlah nama Tanjung Balai.
Singkat cerita, akhirnya Sultan Aceh Syah Johan ini menikah dengan putri raja Batak Kotapinang Batara Sinomba bernama Siti Onggu. Anak mereka bernama Sultan Abdul Jalil menjadi Sultan Asahan pertama yang tunduk di bawah kekuasaan Aceh yaitu ayahnya sendiri. Sebagai Sultan yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, dia berhasil menundukkan tiga Kerajaan Batak Pardembanan di wilayah hulu sungai Asahan termasuk menguasai wilayah sekitar hulu sungai Kualuh dan Leidong tempat bermukimnya suku Batak Nadolok.
Selama beberapa generasi Kesultanan Asahan menguasai wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok. Hingga pada saat Sultan Musa Shah meninggal pada 1808, meninggalkan seorang putra anumerta. Namun, aturan suksesi tidak memungkinkan satu hari untuk berlalu antara pemakaman mantan penguasa dan proklamasi penggantinya. Akibatnya, adiknya berhasil sebagai Syah Ali Raja '. Beberapa bangsawan, terutama mereka yang termasuk masyarakat Batak, tidak menerima penguasa baru. Raja Musa Shah bayi pangeran dibawa ke Kualuh dan memproklamirkan sebagai penguasa, akhirnya diterima sebagai penguasa atau Wakil Yang Dipertuan Muda di wilayah Kualuh. Itulah awal mula berdirinya Kesultanan Kualuh Leidong yang terpisah dari Asahan.
Sementara itu, putra Raja Ali Shah didirikan kebebasannya dari Aceh dan diberikan gelar Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah. Pemerintahan panjang empat puluh enam tahun menyaksikan meningkatkan kontak komersial Eropa, dan kesimpulan dari kontrak dengan pemerintah Hindia. Kematiannya pada 1859, diendapkan sengketa suksesi antara keturunan Raja Shah Musa dan orang-orang Shah Ali Raja '.
Hubungan yang buruk dengan Belanda tidak membantu Sultan Ahmad Shah. Mereka mengusirnya pada tahun 1865 dan memproklamirkan cucu Raja Musa Shah sebagai Shah Ni'matu'llah Sultan. Namun, langkah ini tidak menyelesaikan apa-apa, Sultan Ahmad Shah pindah pedalaman dan mempertahankan kekuasaannya, keluar dari jangkauan kapal perang Belanda. Sultan Ni'matu'llah tidak mampu membangun kekuasaannya, sehingga Belanda dihapus dia sebagai Sultan Asahan pada tahun 1868. Wilayah tanah lungguh yang setia Ni'matu'llah menjadi negara baru Kualuh. Setelah dua puluh tiga tahun bertempur intermiten dan diikuti oleh periode gencatan senjata dan jalan buntu, penyelesaian yang disepakati antara semua tiga partai pada tahun 1886. Gubernur-Jenderal Hindia diakui secara resmi sebagai Sultan Ahmad Shah Asahan sekali lagi.
Sultan Muhammad Shah II Husain Rahmad menggantikan ayahnya dua tahun kemudian dan memimpin periode kemakmuran ekonomi yang luas. Mati pada tahun 1915, putranya, Sultan Sha'ibun 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah, berhasil di puncak boom karet Perang Besar. Ini janji awal dari sebuah pemerintahan menguntungkan jatuh pendek dalam tiga puluh tahun. Perang Dunia Kedua terbukti menjadi suatu DAS. Kekejaman Jepang dan penindasan kolonialisme Belanda diganti, hanya untuk digantikan oleh pertumpahan darah mengerikan yang lewat untuk "revolusi sosial". Kejahatan dari mereka kali tidak berakhir secepat Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kontrol sedangkan kaum republiken Jawa dan Aceh berusaha untuk mengusir Belanda. Sejumlah besar aristokrasi tewas dalam konflik, kekacauan memerintah tertinggi dan negara-negara semua tapi tidak berfungsi. Pada akhir permusuhan, kesultanan tidak dikembalikan tetapi diserap ke dalam Republik. Sultan tua tinggal di selama tiga puluh empat tahun, pemerintahan terpanjang dalam sejarah rumahnya.
Berbeda dengan penguasa tradisional di bagian lain di Indonesia, tidak ada kesultanan Sumatera telah dipulihkan atau kepala mereka diakui dalam. Namun demikian, kampanye yang kuat untuk pemulihan mereka terus di antara masyarakat Melayu, digagalkan oleh rasa takut pemisahan dan kemungkinan hilangnya pendapatan minyak yang berharga oleh pemerintah di Jakarta. 
C.   Masyarakat Asli Labuhanbatu Utara adalah Suku Batak Nadolok, Bukan Melayu Kualuh 
Dari keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penduduk asli Labuhanbatu Utara adalah Suku Batak Nadolok yang hidup di hulu Sungai Kualuh sebagai petani. Kedatangan Sultan Syah Johan dari Aceh, pada akhirnya meciptakan berdirinya Kesultanan Asahan melalui anaknya Sultan Abdul Jalil yang berhasil menginvasi wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok Sebagai bagian dari Kesultananan Asahan.
Gejolak kemudian muncul ketika Sultan Musa Syah meninggal dan tahta direbut paksa oleh Sultan Ali Syah. Masyarakat Kualuh termasuk Suku Batak Nadolok yang sudah menjadi Islam dan tunduk kepada kesultanan merasa tidak terima karena seharusnya anak kandung Sultan Musa Syah lah yang berhak menggantikan ayahnya sebagai sultan. Maka mereka membawa anaknya Sultan Musa Syah yang masih bayi dan menjadikannya Sultan Kualuh Lediong. Itulah tonggak berdirinya Kesultanan Kualuh Leidong.
Hanya keturunan asli Sultan Asahan yang menjadi Sultan Kualuh Leidong yang dapat dikategorikan sebagai Suku Aceh ataupun Melayu Kualuh dari sisi keturunan, itupun merupakan pendatang. Sementara itu Suku Batak Nadolok telah menetap jauh lebih dahulu dari kedatangan Sultan Aceh, apalagi Sultan pertama Kualuh Leidong.
Sungai Kualuh ini berdasarkan letak geografisnya, dari sebelah hulu di Tapanuli Utara, namanya adalah Aek Kualuh. Sementara mulai dari kampung Aek Baringin sampai ke hilir di muara selat malaka dinamai Sungai (Sunge) Kualuh, ada perobahan  penamaan, mungkin penyesuaian karena dihilir penduduknya orang melayu. Namun tetap berlandaskan nama Kualuh, hanya ada perubahan antara kata Aek di hulu, dan kata Sungai (Sunge) di hilir.
Asal-muasal nama Sungai Kualuh itu berdasarkan ada tujuh sungai mengalir yang bermuara ke Sungai Kualuh. Tujuh sungai itu berada di wilayah Labura. Adapun ketujuh sungai tersebut yang bermuara ke Sungai Kualuh adalah:
1.Sungai Air Hitam, (Sunge Ledong), 
2. Sungai Aek Kuo, 
3. Sungai Aek Kanopan, 
4. Sungai Aek Natas, 
5. Sungai Simangalam. 
6. Sungai Aek Rimo, dan 
7. Sungai Aek Tombus.
Untuk Aek Rimo dan Aek Tombus menyatu di Kuala Beringin, kemudian bermuara ke Sungai Kualuh. Gabungan tujuh sungai yang bermuara ke induknya, yaitu Sungai  Kualuh, maka ada delapan sungai yang terdapat di Kesultanan Kualuh. Terkait dengan bahasa Batak Nadolok yang berada di hulu Sungai Kualuh, untuk angka delapan dilafazkan sebagai walu, karena adanya pengaruh budaya dan bahasa melayu yang kuat di hilir, maka sungai itu dinamai menjadi Sungai (Sunge) Kualuh. (MR)

Rabu, 11 Februari 2015

PATUAN NALOBI RITONGA (1836 – 1899)


Disebuah daerah bernama Gunung Tinggi yang berada di daerah Sipiongot, saat ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta). Gunung Tinggi berada dihulu Sungai Bilah yaitu Sungai yang membelah Kota Rantauprapat. Butuh lebih kurang 1 hari perjalanan dari Rantauprapat menuju Gunung Tinggi. Sebelum tahun 1872, Ritonga telah berada di Gunung Tinggi. Sebagai kepala luatnya adalah Patuan Na Lobi. Orangnya pemberani, cakap, jujur dan tegas serta berdisiplin.
Pemerindah Hindia Belanda menetapkan pajak sangat tinggi pada rakyat dikampung-kampung. Patuan Na Lobi merasa tersinggung atas tindakah-tindakan pemerintah Hindia Belanda dalam pengutipan pajak dari rakyat dengan sesukanya. Patuan Na Lobi memberikan pengertian kepada penduduk itu mengerti. Kemudian Patuan Na Lobi memgajak penduduk untuk bangkit. Daripada diserang, lebih baik menyerang. Mereka lalu marah dan menyerang ke kota Pinang secara mendadak sekali dengan senjata rakyat yang sederhana. Namun, dengan semangat yang tinggi dan bergelora, Patuan Na Lobi maju kemedan perang dengan sorak yang bersahut-sahutan. Melihat bendera Belanda dan gambar Wilhelmina, mereka lalu merobek-robeknya. Mereka melampiaskan marah sejadi-jadinya. Setelah puas, mereka kembali ke Gunung Tinggi dengan membawa kemenangan dengan suka ria.
Ketika Gubernur Hindia Belanda di Batavia menerima berita serangan Patuan Na Lobi ke Kota Pinang. Maka dengan segera Gubernur mengirimkan pasukannya untuk menyerang Gunung Tinggi sebanyak 2 kompi, dan dilengkapi persenjataan yang canggih. Gunung Tinggi diserang dan lalu digempur dari semua arah, Pertempuran yang tidak seimbang itupun terjadi pada tanggal 18 Februari 1872. Dengan penyerangan secara mendadak, Patuan Na Lobi pun ditangkap bersama ayah dan adiknya.
Baginda Na Lobi, Patuan Na Lobi pun dibawa melalui pelabuhan Sibolga langsung ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Ternate. Sesudah mendekam beberapa lamanya di Ternate, sebelum akhir hayatnya Patuan Na lobi dikembalikan ke Gunung Tinggi sampai akhir hidupnya dan diziarahi orang-orang ke Gunung Tinggi.
Patuan Na Lobi mendapat Bintang Jasa Utama dari Presiden Republik Indonesia, dengan SK. No. 077 tanggal 13 Agustus 1999.
Ritonga-Ritonga banyak yang meninggalkan Gunung Tinggi ada yang ke Negeri Lama, ada yang Kualuh, demikian pula ke Marbau, Sigambal, Aek Kota Batu dan daerah lainnya di Labuhanbatu.

Sumber : http://silsilahmargaritonga.com/informasi.html